Alat bantu mbah Google

Sabtu, 02 Juni 2012

REFLEKSI AHIR TAHUN ANTARA PENGANGGURAN DENGAN KAUM INTELEKTUAL

Sungguh menyedihkan ketika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang jumlah pengangguran pada tingkat serjana pada Agustus 2010. Dengan jumlah lulusan sarjana (S1) yang menganggur sebesar 1,2 juta jiwa. Setiap tahun rata-rata 20% sarjana baru Indonesia menjadi pengangguran. Sebagai orang yang telah menempuh pendidikan tinggi di sebuah Universitas, tentu sangat menyakitkan apabila ilmu yang selama ini didapatkan di bangku kuliah, ternyata tak bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Apalagi jika selama kuliah sudah mengeluarkan biaya yang tak sedikit jumlahnya, pasti sangat menyesalkan tentunya.
Semakin banyaknya pengangguran intelektual membuat mayoritas mahasiswa jadi ikutan takut dengan keadaan itu. Kondisi itu bagaikan sebuah momok yang menakutkan, yang selalu menghantui pikiran. Bayangan menjadi pengangguran ketika sudah lulus kuliah pastinya juga akan dilewati banyak mahasiswa di berbagai perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Karena sekarang ini, meskipun sudah menenteng gelar sarjana, seorang mahasiswa belum tentu mendapatkan pekerjaan. Malahan bisa terancam semakin menambah jumlah penganguran intelektual yang sudah bertumpuk banyaknya.
Sampai saat ini, jika ada mahasiswa setelah lulus kuliah belum mendapatkan kerja, mereka akan selalu menjadi bahan pembicaraan masyarakat di mana Ia tinggal. Dan ini akan menjadikan sebuah beban moral bagi mahasiwa itu sendiri. Selama ini, sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa mahasiswa yang nganggur itu disebabkan mereka terlalu pilih-pilih pekerjaan dan memiliki gengsi terlalu tinggi, sehingga sulit mendapatkan pekerjaan. Padahal pendapat itu tak sepenuhnya benar. Karena pastinya tak akan ada mahasiswa yang mau menganggur setelah menyelesaikan jenjang perkuliahan.
Jika diurai satu persatu, permasalahan semakin banyaknya pengangguran intelektual di Indonesia sebenarnya tak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan PT di Indonesia yang belum mampu mewadahi mahasiswa dalam mengembangkan setiap bakat dan kemampuannya. Di samping itu, sistem pembelajaran di kelas yang masih berpusat pada dosen (teacher oriented)  juga semakin memperburuk perkembangan daya nalar mahasiswa dalam mengembangkan ilmu yang diterimanya. Sehingga mahasiswa terkukung dalam belenggu peraturan perkuliahan, yang membuat mahasiswa menjadi kelabakan ketika nantinya harus terjun ke masyarakat setelah lulus wisuda.
Sistem pendidikan di PT yang masih membelenggu mahasiswa harusnya layak dievaluasi dengan menggunakan metode pengajaran yang lebih humanis, dan menempatkan dosen sebagai mitra belajar mahasiswa. Bukannya mahasiswa diposisikan sebagai orang yang tak tahu apa-apa seperti dalam sistem pengajaran teacher oriented. Karena selama ini, proses pembelajaran dengan metode teacher oriented seolah menjadikan dosen sebagai pemegang kendali suasana kelas, serta sifat pembelajarannya yang searah membuat mahasiswa kurang berkembang dan tak bisa berfikir kreatif.
Kondisi itu harus diubah dengan pembelajaran dengan menggunakan metode student center learning, di mana posisi mahasiswa dengan dosen itu sejajar dan tak ada yang merasa lebih tinggi dan kuasa. Sehingga proses pembelajaran bisa bersifat dua arah dan keduanya saling terbuka untuk memberikan masukan, yang bisa membuat hidup suasana.
Saya berpikir jika metode pembelajaran model student center learning diterapkan,  maka bisa membuat mahasiswa mampu mengeluarkan segenap potensinya, karena tak merasa tertekan dan bisa leluasa menyampaikan pendapat. Sehingga kemampuan proses berpikirnya menjadi terasah dan ketika nanti harus turun ke masyarakat, tak lagi canggung karena setidaknya memiliki sudah bekal dalam perkuliahan. Atau setidaknya, proses perkuliahan bisa mencetak mahasiswa menjadi makhluk yang terampil dan tak mengalami kesulitan lagi dalam mengaplikasikan ilmunya di dunia kerja. Karena ilmu yang didapatkan mahasiswa sesuai dengan yang permintaan dunia kerja maupun stakeholder.
Pernyataan di atas adalah ungkapan pribadi yang sebenarnya ingin saya suarakan kepada pemerintah. Karena sebagai seorang mahasiswa, saya tak ingin setelah wisuda dan meraih gelar sarjana malahan menjadi pengangguran dan menjadi beban negara. Sudah saatnya Depdiknas untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang sekarang guna menghindari semakin banyaknya pengangguran intelektual di Indonesia. Karena output model sistem pendidikan sekarang yang cenderung teacher oriented sudah ketinggalan zaman.
Pemerintah harus mendengar keluh kesah dan aspirasi dari mahasiswa. Karena mahasiswa juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan bermutu. Sehingga ketika mereka lulus sudah mempunyai bekal yang cukup untuk memasuki persaingan dalam dunia kerja. Dan tak menambah jumlah pengangguran bagi bangsa ini. Bukan malahan menyalahkan mahasiswa ketika sudah menjadi bagian dari pengangguran intelektual itu sendiri.
Bagaikan lingkaran setan

            Rendahnya perhatian pemerintah akan perlunya pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas menyebabkan terjadinya kemerosotan di dunia pendidikan. Akibatnya, terjadi peningkatan kemiskinan dan pengangguran yang disusul merebaknya tindakan kejahatan di tengah masyarakat. Kebodohan menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan terhalangnya mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Karena tidak berpendidikan dan tidak memiliki pengalaman apapun, menjadi pengangguran dan melakukan tindakan menyimpang. Kebodohan, pendidikan, kemiskinan, pengangguran, dan tindak kejahatan, begitulah seterusnya bagaikan lingkaran setan.
            "Lingkaran setan" di lembaga dunia pendidikan itu, begini ceritanya. Ada tuduhan yang menyebabkan rendahnya mutu mahasiswa Indonesia disebabkan Perguruan Tinggi (PT) yang tak berkualitas. PT lalu menyalahkan sekolah menengah tingkat atas (SMA) yang tidak becus memproduksi calon mahasiswa. Pihak SMA kemudian menyalahkan sekelohah menengah tingkat pertama (SMP) yang tak berhasil mendidik muridnya. Pihak SMP pun menyalahkan sekolah tingkat dasar (SD) yang tak becus mendidik anak-anaknya. Lalu pihak SD pun menuduh pihak PT tidak becus memproduksi calon guru yang berkualitas dalam mengajar. Begitulah seterusnya bagaikan lingkaran setan. Sebuah dilemma yang cukup alot.

Peningkatan kompetensi dan harapan terhadap pemerintah
           
            Antara pengangguran dan pekerjaan dapat dianalogikan seperti antara barang dagangan dengan pembeli. Dimana seorang pembeli yang bijak tidak akan pernah mau membeli barang dagangan yang tidak bisa memberikan manfaat bagi dirinya. Mahasiswa yang dianalogikan sebagai barang dagangan tidak akan pernah dibeli (di Recrut) oleh perusahaan atau stakeholder yang sebagai pembeli ketika mahasiswa itu tidak bisa berbuat apa-apa ataupun sebagaimana yang diharapkan oleh pembeli tersebut.
Jadi sering sekali kita mendengar suara yang mendengungkan telinga ketika seorang serjana mengatakan dan menjastifikasi bahwa mencari pekerjaan sangatlah sulit. Hal ini mungkin disebabkan oleh daya jual mahasiswa itu tidak bisa dipersaingkan, karena kita ketahui bahwa dunia globalisasi saat ini penuh dengan competitive dan ketika tidak mampu bersaing sehingga dikatakanlah bahwa mencari pekerjaan itu sangatlah sulit. Sebenarnya ketika mahasiswa itu mempunyai daya jual yang tinggi maka pekerjaan yang diharapkan tidaklah sesulit yang dibayangkan.
            Kalau kita bandingkan dengan sistem pendidikan yang ada di Luar negri khususnya Negara tetangga kita Malaysia yang beberapa waktu lalu saya berkesempatan melakukan research dan menghadiri seminar internasional di sebuah Partner University yang bernama Nottingham University branch of  United Kingdom yang mahasiswanya didominasi oleh mahasiswa asing terutama yang berasal dari Europe dan Australi, beberapa hari saya habiskan untuk diskusi dengan lecturer dan beberapa mahasiswa disana ternyata terdapat banyak perbedaan dalam sistem pendidikan dengan negara kita salah satu nya adalah durasi semester di Universitas itu hanya empat bulan.  Dan dua bulan berikutnya adalah mengambil  part-time di beberapa Negara yang telah melakukan kerja sama dengan universitas ini. Pihak Universitas hanya membantu pembiayaan dalam pembuatan Visa dan Passport  sedangkan untuk Living cost ( biaya hidup) selama disana dicari sendiri oleh mahasiswa tersebut, sehingga mayoritas mahasiswa sudah terlatih untuk hidup berdikari dan mandiri.
Sistem seperti ini tentunya sangat kita harapakan kepada pemerintah sebagai decision maker (pembuat kebijakan) supaya mahasiswa di negri ini bisa berdikiri dan dari situlah terciptanya sebuah “kemerdekaan”, sebab mengutip statement dari Francis Bacon bahwa jika anda ingin merdeka maka hendaklah anda mandiri. Dan akhirnya peran seorang mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control social tidak ada lagi ditemukan istilah “pengangguran dalam tubuh intelektual”.

    Written by : Satria Antoni
                  Mahasiswa Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan 07









2 Comments So Far:

  1. hiks hiks hiks :-( belum pernah merasakan bangku kuliah! Orang tua tak mampu! Mau masuk gak gratis!

    BalasHapus
  2. lebih baik jgn kuliah....buat apa toh nantinya klo dah lulus cm jd pengangguran aja, mending mulai belajar jd wirausahawan...biar jugkir balik dulu namun akhirnya enak dikemudian harinya,trial and error dulu dah...psn gue lg stop jgn kuliah cm sia-sia in hdp loe ja

    BalasHapus