MENYONGSONG KEDAULATAN TATA-KELOLA MIGAS INDONESIA
MENYONGSONG
KEDAULATAN TATA-KELOLA MIGAS INDONESIA
Dalam
membicarakan kedaulatan wilayah Indonesia, kerap kita mendengar statement yang sangat patriotik, yaitu
“tidak akan membiarkan sejengkal pun wilayah Indonesia direbut oleh pihak
asing”. Namun sikap patriotik itu tidak berjejak sedikit pun ketika
membicarakan kedaulatan energi, khususnya atas minyak dan gas.
Berdaulat
dan tidaknya sebuah negara,akan tercermin tatkala negara tersebut menjadi
mentor dan remote kontrol dalam pengelolaan energi. Minyak dan gas adalah
barang publik yang mengatur hajat hidup orang banyak, maka dalam hal ini negara
harus menguasainya disamping konstitusi sudah mengamanatkannya. Akan tercedrai
hakekat terbentuknya sebuah negara jika negara tidak mampu mensejahterkan
rakyatnya. Bagaimana rakyat akan sejahtera dan negara akan berdaulat jika
pengelolaan sektor energi tidak ada dalam genggaman negara.
Secara
jelas didalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945, bahwa cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara. Pasal ini cukup tegas dalam konsep kedaulatan pengelolaan kekayaan alam
Indonesia. Pemerintah dalam setiap kebijakan harus mampu menginternalisasi
kemuliaan pasal ini. Sangat ironis sekali jika pemerintah merestui berdirinya
perusahaan yang mengelola sektor energi yang sangat strategis di luar
teritorial kedaulatan NKRI. Jika praktek ini terus dibiarkan, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa kedaulatan tata kelola kekayaan alam Indonesia
khususnya bidang energi, bagaikan permainan catur pihak asing yang tidak tunduk
ke dalam hukum nasional Indonesia.
Dalam
bukunya berjudul Migas dan Energi di Indonesia, almarhum Widjajono Partowidagdo
mantan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral menulis (hal 98): ”Sesuai
amanat konstitusi, untuk mempercepat realisasi kemandirian nasional sangat
diperlukan kepemimpinan nasional yang kuat dan berani untuk segera mengumumkan
bahwa kontrak lapangan produksi yang dikelola perusahaan asing yang akan
berakhir, tidak akan diperpanjang”. Ini adalah sebuah keberanian yang perlu
diacungkan jempol untuk mengakhiri konrak dengan pihak asing. Karena menurut
data dari kementerian ESDM (2011) bahwa dalam waktu enam tahun ke depan hingga
2018, terdapat puluhan kontrak migas yang akan berakhir. Blok-blok dimaksud
antara lain Riau (Chevron, 2013), Mahakam (Total, 2017), South Sumatra, SES
(CNOOC, 2018), South Natuna Sea B (Conoco-Phillips, 2018), East Kalimantan
(Chevron, 2017), Sanga-sanga (Virginia, 2018), Lho Sukon B (Exxon, 2017),
Corridor, Bertak, dan Bijak Ripah (Conoco-Phillips, 2016), Onshore Salawati
Basin (PetroChina, 2016), Ogan Komering (PetroChina, 2018), dan Arun B (Exxon,
2017). Hampir semua blok tersebut masih menyimpan cadangan besar, telah
dikelola asing sejak 1970-an.
Berbicara kedaulatan permanen sebenarnya telah
dibicarakan di tingkat internasional yang menghasilkan resolusi PBB 1803, 14
Desember 1962 yang mengakui adanya kedaulatan negara atas SDA (permanent sovereignty over natural
resources). Ada beberapa butir penting dari resolusi ini yang menarik untuk
dicatat. Pertama, kedaulatan permanen negara terhadap SDA dilaksanakan demi
kesejahteraan penghuninya dan pembangunan nasional. Kedua, eksplorasi dan
bangunan SDA harus sesuai aturan-aturan yang ada di masyarakatnya. Ketiga,
kerjasama investor dan negara dalam pengelolaan SDA dan pembagian keuntungan
tidak boleh membawa dampak pelemahan terhadap konsep kedaulatan permanen negara
atas SDA. Keempat, tindakan nasionalisasi dan penyitaan diizinkan dengan alasan
kepentingan publik dan keamanan. Kelima, kontroversi yang muncul sebagai akibat
dari tindakan nasionalisasi dan penyitaan itu dapat diselesaikan melalui
arbitrase atau ajudikasi internasional.
Menurut
hemat saya ketika pemerintah tidak lagi memperpanjang kontrak dengan pihak
asing maka SDA dan migas indonesia akan berdaulat sehingga rakyat indonesia
akan sejahtera seperti yang telah terbukti dilakukan oleh negara-negara di
Amerika Latin seperti Venezuela, Argentina, dan Bolivia.
Leave a Reply